Dunia gaming memang penuh warna, mulai dari hype game baru sampai drama persilatan antar developer yang kadang bikin dahi berkerut. Percaya atau tidak, di balik layar industri yang gemerlap ini, sering terjadi intrik yang tak kalah seru dari alur cerita game itu sendiri. Salah satunya melibatkan dua nama besar, Sega dan Atari, dalam sebuah episode yang nyaris berakhir di meja hijau, namun urung terjadi karena alasan yang cukup… unik. Kisah ini membawa kita kembali ke era pertengahan 90-an, saat game fighting 3D mulai menancapkan kukunya.
Sebelum kita masuk ke inti cerita, mari kita set panggungnya dulu. Era 90-an adalah masa keemasan bagi genre fighting game. Setelah kesuksesan fenomenal Street Fighter II, banyak developer berlomba-lomba menciptakan jagoan mereka sendiri di arena pertarungan virtual. Tak jarang, kemiripan antar game memicu tuduhan plagiarisme, seperti yang pernah terjadi antara Capcom dan Data East yang saling tuding menjiplak ide.
Namun, cerita kali ini fokus pada Sega, sang raksasa yang merevolusi genre fighting dengan Virtua Fighter, game pertarungan 3D pertama yang mengguncang arcade dan konsol. Kesuksesan Virtua Fighter tentu saja membuat banyak mata melirik, termasuk Atari, perusahaan legendaris yang saat itu sedang berjuang dengan konsol Jaguar mereka. Atari pun menyiapkan senjata mereka sendiri: Fight For Life, sebuah game fighting 3D yang dirilis pada tahun 1996.
Sayangnya, Fight For Life jauh dari kata sukses. Game ini mendapatkan kritik pedas dari berbagai media dan dianggap sebagai salah satu kegagalan besar untuk Atari Jaguar. Grafisnya yang kaku, animasi yang kasar, dan gameplay yang kurang memuaskan membuatnya cepat dilupakan. Namun, di balik kegagalannya, tersimpan sebuah cerita tentang potensi tuntutan hukum yang batal karena alasan yang agak menggelitik.
Semua bermula ketika tim Virtua Fighter di Sega AM2 menyelesaikan mahakarya mereka. Menurut catatan blog Kenji Aoyagi, salah satu anggota tim pengembang Virtua Fighter 1 adalah seorang staf berkebangsaan Prancis bernama Francois Bertrand. Setelah proyek Virtua Fighter rampung, Bertrand memutuskan untuk hijrah dan bergabung dengan Atari, membawa serta pengalamannya dari Sega.
Kepindahan Bertrand inilah yang menjadi titik awal potensi konflik. Beberapa waktu kemudian, muncul foto-foto software baru untuk Atari Jaguar, yang tak lain adalah Fight For Life. Tim Virtua Fighter di Sega sontak terkejut bukan kepalang melihat materi promosi game tersebut. Mereka merasa bahwa apa yang mereka lihat adalah jiplakan mentah-mentah dari game kebanggaan mereka.
Menurut Aoyagi, kecurigaan langsung tertuju pada sang mantan kolega. "Pelakunya tak diragukan lagi adalah orang Prancis itu," tulis Aoyagi dalam blognya, merujuk pada Bertrand. Reaksi di internal Sega pun langsung panas; teriakan "tuntut, tuntut!" menggema di antara para staf yang merasa kerja keras mereka ditiru begitu saja.
Ketika Raksasa Game Hampir Beradu di Pengadilan
Sega rupanya cukup serius menanggapi dugaan penjiplakan ini. Mereka tidak hanya sekadar berwacana, tetapi benar-benar mulai mengumpulkan dana dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Aoyagi mencatat bahwa persiapan sudah sampai pada titik di mana mereka siap melayangkan tuntutan kapan saja. Bayangkan, dua ikon industri game siap bertarung di dunia nyata!
Namun, ketika game Fight For Life mulai terlihat bentuknya lebih utuh, terutama animasinya yang tidak bisa dinilai hanya dari foto, antusiasme untuk menuntut mulai meredup. Tim Sega melihat kualitas animasi Fight For Life yang ternyata sangat kasar dan jauh dari standar Virtua Fighter. Di sinilah plot twist terjadi: mereka merasa malah akan lebih memalukan bagi Sega jika mereka menuntut Atari atas game dengan kualitas seperti itu.
"Perasaan [kami] menjadi ‘kalau kita menuntut karena sesuatu yang terlihat seperti ini, itu malah akan lebih memalukan bagi kita'," ungkap Aoyagi. Akhirnya, dengan pertimbangan tersebut, rencana tuntutan hukum pun dibatalkan begitu saja. Ironisnya, kualitas buruk game yang diduga menjiplak itulah yang menyelamatkannya dari potensi gugatan hukum dari sang ‘korban'.
Fight For Life: Klon Virtua Fighter yang Bikin Geleng Kepala?
Lantas, benarkah Fight For Life sepenuhya menjiplak Virtua Fighter? Francois Bertrand sendiri, sang developer yang berada di pusat tuduhan, tidak menampik bahwa pengalamannya di Sega Jepang memberikan pengaruh positif pada pengembangan Fight For Life. Dalam sebuah wawancara dengan Arcade Attack, ia mengakui, "Tentu saja, semua riset yang saya lakukan di Jepang bermanfaat untuk membantu pembuatan Fight For Life."
Namun, ia juga memberikan konteks mengenai kondisi sulit di Atari saat itu, yang sangat memengaruhi kualitas akhir gamenya. Pengembangan Fight For Life memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan, bukan karena masalah produksi yang rumit, melainkan lebih karena kondisi finansial Atari yang sedang goyah. Nasib Atari Jaguar yang kurang bersinar di pasaran turut memperburuk keadaan.
Bertrand menjelaskan bahwa game tersebut sebenarnya hampir selesai ketika perusahaan tiba-tiba kolaps secara finansial. "Kami hampir selesai, ketika perusahaan kurang lebih tumbang dalam semalam, dan butuh tarik ulur untuk menyelesaikannya," ujarnya. Situasi ini jelas memberikan tekanan luar biasa pada tim pengembang yang tersisa.
Drama di Balik Layar: Pengakuan Sang Developer
Ketika ditanya apakah Fight For Life dirilis dalam kondisi belum matang atau terlalu cepat, Bertrand memberikan jawaban yang jujur. "Ketika perusahaan mulai melakukan PHK, sambil mencoba mencari ‘peminang' [investor/pembeli], game itu belum selesai," akunya. Ia memperkirakan butuh beberapa bulan lagi untuk memoles game tersebut agar menjadi lebih baik, namun waktu adalah kemewahan yang tidak mereka miliki.
Setelah dirinya sendiri terkena PHK, Bertrand berhasil menegosiasikan tambahan waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan apa yang bisa diselesaikan. "Saya bisa menggunakan lima [bulan], tapi hanya itu yang bisa saya dapatkan," jelasnya. Waktu ekstra itu idealnya digunakan untuk quality assurance (QA) yang lebih mendalam dan memoles banyak aspek yang masih terasa kasar, namun keterbatasan sumber daya dan waktu memaksanya merilis game dalam kondisi seadanya. Beberapa fitur bahkan terpaksa dipotong.
Kenapa Sega Batal Menuntut? Alasan yang Tak Terduga
Jadi, saga tuntutan hukum yang batal ini menyisakan sebuah pelajaran unik. Sega, dengan Virtua Fighter sebagai pionir game fighting 3D, punya alasan kuat untuk merasa geram. Namun, keputusan mereka untuk tidak melanjutkan tuntutan karena kualitas Fight For Life yang dianggap terlalu buruk menunjukkan sisi lain dari persaingan industri. Terkadang, membiarkan sebuah produk gagal dengan sendirinya dianggap lebih ‘efektif' daripada terlibat dalam pertarungan hukum yang justru bisa mencoreng citra sendiri.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap game, baik yang sukses maupun yang gagal, ada cerita pengembangan yang kompleks, sering kali dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi finansial perusahaan atau dinamika internal tim. Kegagalan Fight For Life dan batalnya tuntutan Sega adalah contoh bagaimana berbagai faktor – mulai dari ambisi, keterbatasan, hingga rasa malu – bisa saling berkelindan dalam industri game yang dinamis ini. Pada akhirnya, mungkin Sega berpikir, biarlah sejarah dan para gamer yang menjadi hakim atas kualitas Fight For Life.