Banjir di Mojokerto: Ketika Air Membawa Kita ke Realita
Banjir. Kata ini, seperti undangan makan malam dari mantan, selalu datang di waktu yang paling tidak tepat. Bayangkan, kamu sedang asyik menikmati akhir pekan, rencana nge-mall gagal, atau bahkan baru saja mencuci sepatu kesayangan. Tiba-tiba, air datang. Bukan hanya sekadar genangan, tapi banjir yang memaksa kamu berenang di jalanan, berbagi ruang dengan bebek-bebek yang sepertinya lebih bahagia dari kamu.
Bencana banjir yang melanda Mojokerto, Jawa Timur, pada tanggal 1 Maret 2025, memberikan kita gambaran nyata tentang bagaimana alam bisa tiba-tiba "bermain kasar". Foto-foto yang beredar menunjukkan anak-anak berjuang menerjang banjir, angsa-angsa berenang di jalanan, dan perahu karet menjadi transportasi utama. Miris, bukan? Tapi, di balik semua itu, ada beberapa hal yang perlu kita renungkan.
Apakah Kita Sering Lupa dengan "Realita"?
Kita sering kali terlalu sibuk dengan urusan pribadi, mulai dari urusan percintaan hingga pencarian jati diri di media sosial, sehingga lupa memperhatikan lingkungan sekitar. Kita asyik dengan gadget, konten hiburan, dan tren terbaru, hingga lupa bahwa bumi ini sedang "sakit". Banjir di Mojokerto ini, seperti tamparan keras dari alam, mengingatkan kita bahwa lingkungan hidup adalah hal yang krusial. Alam tidak butuh pujian atau likes di Instagram, tapi butuh tindakan nyata.
Bencana alam, seperti banjir, kerap kali terjadi akibat perubahan iklim yang ekstrem. Penebangan hutan, polusi udara, dan penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan adalah beberapa penyebab utamanya. Perubahan iklim bukanlah fiksi ilmiah atau teori konspirasi. Ia adalah realita yang nyata, dan dampaknya sudah mulai kita rasakan.
Peristiwa di Mojokerto menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa terus menerus mengabaikan isu lingkungan. Kita tidak bisa hanya menonton berita atau membaca artikel tanpa melakukan perubahan. Apakah kamu sadar betapa berharganya air bersih? Apakah kamu sudah mengurangi penggunaan plastik? Apakah kamu tahu bagaimana caranya ikut melestarikan lingkungan? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin terasa klise, tapi sangat penting untuk kita renungkan.
Respons Kita: Antara Empati dan Ego
Menghadapi bencana, respons kita seringkali terbelah. Di satu sisi, muncul gelombang empati, kepedulian, dan keinginan untuk membantu sesama. Bantuan kemanusiaan berdatangan, relawan bergerak, dan masyarakat bahu-membahu meringankan beban korban banjir. Ini adalah sisi kemanusiaan kita yang paling indah dan patut diapresiasi.
Namun, di sisi lain, ego dan kepentingan pribadi seringkali muncul. Isu politik dan perdebatan tak berujung bisa mengaburkan fokus utama: membantu korban. Bahkan, tak jarang kita menemukan mereka yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi, baik secara finansial maupun politis. Ironis, bukan?
Banjir di Mojokerto seharusnya menjadi momentum untuk bersatu, bukan berpecah belah. Saatnya mengesampingkan perbedaan, melupakan ego, dan fokus pada solusi bersama. Kita perlu belajar dari kesalahan, mengevaluasi kebijakan, dan melakukan tindakan nyata untuk mencegah bencana serupa terulang kembali.
Siapa yang Salah? Pertanyaan yang Tidak Relevan
Seringkali, ketika bencana terjadi, kita sibuk mencari siapa yang salah. Pemerintah disalahkan, pengembang dikritik, atau bahkan alam disalahkan karena "terlalu ekstrem". Mencari kambing hitam memang mudah, tapi tidak akan menyelesaikan masalah. Yang lebih penting adalah fokus pada pencegahan dan penanganan.
Daripada berdebat tentang siapa yang salah, lebih baik kita mencari tahu apa yang bisa kita lakukan. Apakah kita sudah mendukung kebijakan yang ramah lingkungan? Apakah kita sudah ikut menjaga kebersihan lingkungan? Apakah kita sudah peduli terhadap sesama? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih penting daripada sekadar mencari kesalahan.
Bencana banjir di Mojokerto mengajarkan kita bahwa tanggung jawab ada di pundak kita semua. Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha harus bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih berkelanjutan.
Masa Depan yang Basah?
Melihat situasi yang ada, kita perlu berpikir tentang masa depan. Jika kita terus mengabaikan isu lingkungan, bencana seperti banjir di Mojokerto akan semakin sering terjadi. Bahkan, dampaknya bisa lebih buruk. Kita mungkin akan dihadapkan pada berbagai masalah baru, mulai dari krisis air bersih hingga hilangnya mata pencaharian.
Kita perlu berinvestasi pada masa depan. Investasi itu bisa dalam bentuk edukasi, teknologi, atau kebijakan yang berpihak pada lingkungan. Kita perlu mengembangkan energi terbarukan, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan menjaga kelestarian hutan. Kita perlu menciptakan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.
Banjir di Mojokerto bukanlah akhir segalanya. Ini adalah awal dari kesadaran. Kesadaran bahwa kita harus mengubah cara hidup, mengubah cara berpikir, dan mengubah cara kita berinteraksi dengan alam. Hanya dengan begitu, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik, masa depan yang lebih aman, dan masa depan yang terbebas dari banjir yang merugikan. Mari kita mulai dari hal kecil, dari diri sendiri, dan dari sekarang.