Dark Mode Light Mode
Bali Terapkan Pajak Harian Turis, Ikuti Jejak Bhutan: Dampak bagi Pariwisata Indonesia

Bali Terapkan Pajak Harian Turis, Ikuti Jejak Bhutan: Dampak bagi Pariwisata Indonesia

Bali Mau "Bhutan-isasi": Selamat Datang Turis "Premium", Bye-Bye Backpacker?

Emangnya kenapa sih Bali pengen niru-niru Bhutan? Apa karena cuaca di sana lebih adem, atau mungkin karena ngiler sama pendapatan turis yang lebih "berkelas"? Kabar terbaru nih, Pemerintah Provinsi Bali lagi berencana menerapkan pajak harian buat turis asing, terinspirasi dari model pariwisata Bhutan yang katanya lebih fokus ke pengunjung "bernilai tinggi" sambil tetap menjaga keberlanjutan alam dan budaya. Kalau dipikir-pikir, ide ini bukannya jelek juga, ya?

Bali, sebagai surga dunia yang sudah terkenal, memang lagi pusing mikirin overtourism. Saking ramainya, kadang jalanan macetnya minta ampun, pantai jadi kayak pasar kaget, dan budaya lokal terancam tergerus modernisasi. Nah, dengan adanya pajak turis ini, harapannya sih Bali bisa milih-milih turis yang datang, bukan cuma ngincer kuantitas tapi juga kualitas. Jadi, uang yang didapat bisa lebih besar, dan dampaknya ke lingkungan serta masyarakat lokal bisa lebih positif.

Konsep ini juga didukung oleh Gubernur Bali, Wayan Koster, sejak tahun 2023. Bahkan, mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, juga punya pemikiran serupa, lho! Nggak ketinggalan, Senator Bali, Ni Luh Djelantik, juga aktif bersuara di media sosial, mendesak para pemimpin Indonesia untuk meniru pendekatan pariwisata Bhutan yang terkelola dengan baik. Pokoknya, semua sepakat kalau Bali kudu berbenah diri, nih. Tapi, emang seberapa efektif sih pajak turis ini? Kita bedah lebih dalam, yuk.

Bhutan dan Pajak "Mahal"-nya

Bhutan, negara kecil di pegunungan Himalaya, emang terkenal punya kebijakan pariwisata yang unik. Sejak September 2022, turis yang mau liburan ke sana harus bayar pajak harian sekitar 100 dolar AS per orang. Lumayan, kan? Uang ini disebut sebagai Sustainable Development Fee alias biaya pembangunan berkelanjutan. Tujuannya, ya buat menjaga lingkungan dan budaya Bhutan yang masih asri. Bahkan, tahun 2024 ini, Perdana Menteri Bhutan berencana menaikkan pajak turis jadi 200 dolar AS per hari mulai tahun 2027. Gokil, kan?

Pemerintah Bhutan berpikir, daripada menerima banyak turis yang kurang peduli, mending fokus ke turis yang mau bayar lebih mahal dan punya kesadaran lingkungan yang tinggi. Dengan begitu, kualitas pariwisata tetap terjaga, dan pendapatan negara juga meningkat. Sebuah keputusan yang terkesan cukup idealis, tapi layak dicoba, apalagi buat negara yang punya potensi wisata luar biasa macam Bali.

Pajak "Numpang Lewat" di Bali

Bali sendiri sebenarnya udah punya pajak turis, lho! Lewat Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2023, setiap turis asing yang datang ke Bali wajib bayar Rp 150.000. Aturan ini mulai berlaku sejak 14 Februari 2024. Tapi, apakah cuma segitu cukup? Kalau melihat angka pajak di Bhutan yang jauh lebih tinggi, kita bisa mikir, apakah pajak yang sekarang ini sudah cukup efektif untuk mengelola jumlah turis dan menjaga keberlanjutan pariwisata di Bali?

Yang jelas, Bali nggak mau ketinggalan sama Bhutan soal urusan pariwisata "berkelas". Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga sempat menyinggung soal ini. Beliau bilang, Indonesia harus belajar dari Bhutan dan Maladewa, yang sukses mengembangkan sektor pariwisata dengan fokus pada turis yang “high-value, low-volume”. Artinya, nggak semua turis diterima, tapi yang datang bener-bener berkualitas.

Untung Rugi Model Pariwisata "Premium"

Konsep pariwisata "premium" ini punya kelebihan dan kekurangan, nih. Sisi positifnya, jelas pendapatan negara bisa meningkat. Uang dari pajak bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur, melestarikan lingkungan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Selain itu, turis yang datang juga diharapkan lebih menghargai budaya dan alam Bali, karena mereka punya investasi lebih besar di sini.

Tapi, ada juga sisi negatifnya. Dengan menerapkan pajak tinggi, Bali berisiko kehilangan turis dengan budget terbatas, termasuk backpacker yang selama ini jadi penyumbang utama sektor pariwisata. Akibatnya, ada potensi lapangan kerja yang hilang, dan roda ekonomi bisa jadi nggak se-"ngebut" seperti sekarang. Pertanyaannya, apakah Bali siap mengambil risiko ini?

Menuju Masa Depan Pariwisata Bali

Oke, jadi gimana nih nasib pariwisata Bali ke depannya? Apakah kita akan melihat lebih banyak turis kaya raya yang liburan dengan gaya hidup mewah, atau tetap ada ruang buat turis "kere" yang pengen menikmati keindahan Bali dengan budget terbatas? Jawabannya mungkin ada di tengah-tengah.

Yang jelas, Bali harus punya strategi yang jelas dan terukur. Jangan sampai "salah langkah". Perlu ada riset mendalam, dialog dengan para pemangku kepentingan, dan evaluasi berkala untuk memastikan kebijakan yang diambil benar-benar memberikan dampak positif bagi semua pihak. Kita lihat saja, apakah "Bhutan-isasi" ini akan jadi solusi, atau malah jadi masalah baru buat Bali. Kita tunggu gebrakan selanjutnya!

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Kanker Payudara: Mayoritas Ditemukan Terlambat, Implikasi Serius bagi Kesehatan

Next Post

Promo Eksklusif Galaxy S24+ Amazon: Jangan Sampai Ketinggalan!