Di tengah hiruk-pikuk dunia yang serba cepat ini, ada cerita tentang kehilangan yang tak lekang oleh waktu, sebuah kisah yang merangkul esensi dari cinta, persahabatan, dan bagaimana pandemi mengubah segalanya. Mari kita selami kisah Rilee dan mendiang ayahnya, Lee Nurse.
Awal Mula: Kisah Ayah dan Anak di Tengah Pandemi
Tahun 2020, saat dunia mulai merasakan dampak dari lockdown, Rilee, seorang pemuda berusia 18 tahun, tinggal bersama ayahnya, Lee, di Basingstoke. Mereka memiliki hubungan yang luar biasa, layaknya sahabat terbaik. Namun, takdir berkata lain. Hanya empat bulan setelah tahun itu dimulai, Lee menjadi salah satu dari korban pertama COVID-19 di Inggris.
Lee, seorang pecandu olahraga, sangat gemar bermain kriket untuk tim Basingstoke and North Hampshire. Ia juga tempat Rilee dan keluarganya mendapatkan nasihat dan tempat berbagi cerita. Bahkan ketika kesehatannya menurun, Lee tetap memastikan Rilee baik-baik saja. Sungguh, seorang ayah yang luar biasa.
Saat kondisi Lee memburuk, Rilee menghubungi layanan darurat 111 dua kali. Sayangnya, pada saat itu, dunia medis masih kebingungan dalam menghadapi penyakit yang baru muncul ini. Di rumah sakit, keduanya mengucapkan kata-kata terakhir yang menyentuh: “Aku menyayangimu.” Kata-kata hangat itu menjadi kata perpisahan.
Setelah Lee dirawat di rumah sakit, Rilee, bersama kakek dan neneknya, berharap Lee bisa sembuh dan kembali pulang. Namun, kesehatannya justru terus memburuk, hingga ia harus menggunakan ventilator. Rilee menghabiskan dua minggu yang menyakitkan itu sendirian, karena pembatasan yang melarang pertemuan antar-rumah tangga.
Kenangan Manis: Semangat Kriket dan Cinta Keluarga
Kakek Rilee, Leon, mengungkapkan bahwa ia mendapatkan kabar tentang kondisi putranya yang memburuk. “Kami mendapat telepon sekitar pukul lima pagi dari seorang dokter yang mengabarkan bahwa ia tidak akan selamat,” katanya. Sebuah kabar yang menghancurkan, tentunya.
Pada hari itu, kakek dan nenek Rilee mengantarnya ke rumah sakit. Karena pembatasan, ketiganya tidak diperbolehkan masuk. Rilee sendirilah yang masuk dan mengambil keputusan sulit untuk mencabut ventilator ayahnya. Pada 9 April 2020, Lee Nurse meninggal dunia pada usia yang baru menginjak 43 tahun.
Setelah itu, Rilee pulang ke rumah dengan membawa tas oranye berisi barang-barang milik ayahnya. Sesampainya di rumah, ia melihat kakeknya berjalan mondar-mandir. Kakeknya langsung tahu setelah melihat Rilee. “Semua rasa seperti lenyap dari tubuhku, rasanya aku ikut mati bersamanya saat itu,” kenang sang kakek lima tahun kemudian.
Faktanya, ayah Lee telah dirawat di rumah sakit pada hari yang sama saat kakeknya keluar dari rumah sakit setelah dirawat karena pneumonia. Sayangnya, keduanya tidak sempat bertemu untuk terakhir kalinya. Sebuah penyesalan yang tak terhingga.
Perjalanan Perpisahan: Penghormatan Terakhir yang Menyentuh
Hanya ada Rilee dan beberapa kerabat dekat yang bisa menghadiri pemakaman Lee. Namun, ratusan orang berbaris di sepanjang jalan yang dilalui iring-iringan jenazah. Banyak yang mengenakan seragam kriket mereka dan mengangkat tongkat kriket sebagai penghormatan terakhir kepada almarhum.
Kakek Rilee mengenang pemakaman Lee sebagai "perpisahan yang fantastis". "Sungguh luar biasa pada hari itu orang-orang datang – itu membuatku sangat bangga," kenangnya penuh haru. Sebuah penghormatan yang tak ternilai harganya.
Lima tahun berlalu, yang tersisa bagi Rilee hanyalah kenangan dan foto-foto tentang ayahnya. "Tanpa itu, aku akan tersesat," ungkapnya dengan nada sedih. Sang kakek menambahkan, “Waktu tak akan pernah menyembuhkan luka kami, tidak akan pernah. Ketika orang mengatakan Anda harus move on, apa maksudnya ‘move on'?” Sebuah pertanyaan yang menghantui.
Refleksi Mendalam: Pandemi dan Kenangan yang Tak Terlupakan
Sejak pandemi COVID-19 berakhir, seolah-olah para korban telah banyak dilupakan—seperti ada amnesia kolektif di antara orang-orang yang mencoba melupakan masa-masa sulit lockdown. Pada bulan Maret, di awal pandemi global, ketika ayah Rilee terinfeksi virus, kita belum tahu bahwa warga kulit hitam lebih mungkin terinfeksi dan meninggal akibat virus daripada hampir semua kelompok etnis lainnya.
Secara retrospektif, statistik dari awal pandemi menunjukkan bahwa masyarakat kulit hitam di Inggris dan Wales hampir dua kali lebih mungkin meninggal akibat virus corona daripada orang kulit putih. Data ini menjadi pengingat akan ketidakadilan yang tersembunyi di balik pandemi.
Tembok Peringatan COVID Nasional di dekat Gedung Parlemen telah menjadi cara yang baik untuk mengenang ayah Rilee, dan sekitar 220.000 orang yang kehilangan nyawa akibat virus tersebut. Peringatan tidak resmi ini berupa tembok yang dihiasi dengan hampir seperempat juta hati merah yang dilukis dengan tangan—masing-masing dengan nama orang yang meninggal.
Keluarga Rilee berusaha mengunjungi tempat yang dikelola sukarelawan ini sesering mungkin, untuk memastikan mereka bisa menemukan hati milik ayah Rilee. Meskipun kiprahnya di lapangan kriket telah berakhir lima tahun lalu, masa hidup Lee Nurse yang berumur 43 tahun telah menerangi dunia di sekelilingnya, dan karena itu, ia tidak akan pernah dilupakan.
Kesimpulan: Mengenang dan Melanjutkan Perjuangan
Kisah Rilee adalah pengingat akan kekuatan cinta keluarga dan bagaimana kenangan dapat menjadi penyembuh. Meskipun waktu terus berjalan, rasa kehilangan tak akan pernah sepenuhnya hilang. Ingatan akan Lee Nurse, seorang ayah penyayang dan pemain kriket yang hebat, akan terus hidup dalam hati orang-orang yang mencintainya. Kisah ini juga menjadi pengingat pentingnya mengenang mereka yang telah berpulang, serta melanjutkan perjuangan untuk menciptakan dunia yang lebih baik, dunia yang lebih peduli, dan dunia yang lebih adil.