Dark Mode Light Mode

Apple berjanji perbaiki bug dikte yang ubah ‘rasis’ jadi ‘Trump’ – Financial Times

Si Siri: Bicaralah Jujur, Jangan Jadi Juru Bicara Politik!

Pernahkah kamu merasa teknologi itu lebih pintar dari kita? Atau, mungkin, lebih cerdas dalam memilih kata-kata? Kabar terbaru dari dunia gawai pintar membuat kita geleng-geleng kepala sekaligus tergelitik: fitur dikte suara di iPhone, entah bagaimana caranya, secara ajaib mengubah kata "racist" menjadi "Trump."

Ya, kamu tidak salah dengar. Teknologi canggih yang seharusnya mempermudah hidup kita malah terjebak dalam pusaran politik yang menggelikan. Bayangkan, kamu sedang mengetikkan keluhan tentang perilaku rasis, eh, tiba-tiba muncul nama mantan presiden Amerika Serikat. Apa yang salah dengan dunia ini? Mungkin, algoritma AI kita terlalu banyak membaca berita.

Tentu saja, Apple dengan sigap berjanji akan memperbaiki "bug" aneh ini. Tapi, pertanyaan besarnya adalah, bagaimana bisa hal konyol seperti ini terjadi? Apakah ini hanya kesalahan teknis belaka, atau ada konspirasi tersembunyi di balik layar (yang mana, sih, agak mustahil juga). Atau, mungkinkah Siri (atau, dalam hal ini, fitur dikte suara di iPhone) diam-diam memiliki preferensi politik tertentu?

Ketika Algoritma Ikut Berpolitik

Mari kita akui, dalam era di mana algoritma menentukan segalanya, dari berita yang kita baca hingga iklan yang kita lihat, konsep bias menjadi semakin relevan (dan juga menakutkan). Kita tahu, algoritma belajar dari data yang mereka terima. Jika data tersebut bias, maka hasilnya pun akan bias.

Dalam kasus Siri, data yang digunakan untuk melatih algoritma mungkin saja tercemar oleh pandangan politik tertentu. Mungkin saja, ada pihak-pihak yang sengaja (atau tidak sengaja) menyuntikkan opini mereka ke dalam data tersebut. Atau, bisa jadi, algoritma hanya menafsirkan frekuensi penggunaan kata-kata. Karena "Trump" lebih sering dikaitkan dengan "racist" dalam pemberitaan, maka jadilah algoritma membuat korelasi yang salah.

Bagaimanapun penjelasannya, insiden ini mengingatkan kita akan pentingnya kewaspadaan. Kita harus selalu mempertanyakan informasi yang kita terima, bahkan dari sumber yang dianggap paling reliable sekalipun. Jangan sampai, kita menjadi korban propaganda algoritma yang tak bertanggung jawab.

Bisakah Teknologi Bersikap Netral?

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, bisakah teknologi benar-benar netral? Ataukah, netralitas hanyalah ilusi di dunia yang sarat kepentingan ini? Ini pertanyaan yang besar, dan jawabannya mungkin tidak sesederhana yang kita kira. Dari sisi teknologi, untuk apa sebenarnya teknologi itu dibuat, untuk memenuhi kebutuhan dari setiap manusia yang ada di dunia, atau hanya kepentingan dari golongan tertentu saja.

Dari sisi AI, sebagai teknologi yang belajar dari data, sangat sulit bagi AI untuk bersikap benar-benar netral. Data itu sendiri sudah bias. Manusia, sebagai pembuat dan pengguna teknologi, juga bias. Kita melihat dunia melalui kacamata pengalaman dan keyakinan pribadi kita.

Namun, bukan berarti kita harus menyerah pada harapan. Kita bisa berusaha menciptakan teknologi yang lebih adil dan transparan. Kita bisa terus menuntut pertanggungjawaban dari perusahaan teknologi. Kita bisa memastikan bahwa algoritma tidak hanya mencerminkan bias yang ada di masyarakat, tetapi juga berusaha mengatasinya.

Membangun Kesadaran Digital

Insiden "Trump vs. Racist" ini, pada akhirnya, adalah pengingat bahwa kita harus lebih bijak dalam menggunakan teknologi. Kita harus sadar bahwa teknologi bukanlah sesuatu yang netral, tetapi alat yang bisa digunakan untuk berbagai tujuan, baik yang baik maupun yang buruk.

Membangun kesadaran digital adalah kunci. Kita harus belajar untuk mempertanyakan, untuk menganalisis, untuk tidak langsung percaya pada apa yang kita lihat di layar. Kita harus menjadi pengguna teknologi yang cerdas dan kritis. Jangan biarkan algoritma mengendalikan kita. Jadilah pengendali algoritma itu sendiri. Jika AI salah, tegur. Jika AI benar, tetap berikan apresiasi. Jangan sampai, kita menjadi budak dari teknologi modern.

Kita masuk ke dunia digital, kita harus menjadi cerdas dalam memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian. Kita harus menjadi pembuat keputusan dalam hidup, bukan hanya aktor yang mengikuti skenario yang dibuat orang lain. Kita harus belajar dan menjadi cerdas dalam hal teknologi.

Kita tidak akan bisa lepas dari teknologi, maka dari itu, mari kita merangkul dengan bijaksana.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Activision Akui Call of Duty: Black Ops 6 Dikembangkan dengan AI Generatif, Implikasinya Terungkap

Next Post

Charli XCX Dinobatkan sebagai Penulis Lagu Terbaik Tahun Ini: Dampak Signifikansi Terukir