Dark Mode Light Mode

Ancaman Kembalinya Dwifungsi: DPR Perluas Peran TNI di Pemerintahan

Oke, mari kita bahas sesuatu yang lagi happening banget di kancah politik Indonesia, yang mungkin bikin sebagian dari kita auto mikir, "Ini seriusan?". Yup, kita lagi ngomongin soal revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru aja disahkan. Perubahan ini bukan sekadar ganti koma atau titik, tapi punya potensi mengubah lanskap penempatan personel militer aktif di pemerintahan sipil secara cukup signifikan, bikin obrolan di warung kopi sampai ruang diskusi jadi makin seru.

Sejak era Reformasi bergulir pasca tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998, ada semangat kuat untuk mengembalikan TNI ke barak. UU TNI No. 34 Tahun 2004 menjadi salah satu tonggak penting, membatasi jumlah jabatan sipil yang bisa diisi oleh perwira militer aktif. Tujuannya jelas: memastikan supremasi sipil dan mencegah terulangnya sejarah, di mana militer punya peran ganda yang sangat dominan di berbagai sektor kehidupan bernegara.

Awalnya, UU tersebut hanya mengizinkan personel militer aktif menduduki jabatan di sepuluh instansi pemerintahan. Mayoritas pos ini memang berkaitan erat dengan fungsi pertahanan dan keamanan negara. Sebut saja Kementerian Pertahanan (Kemhan), Badan Intelijen Negara (BIN), atau Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), yang notabene memang ‘habitat' alami bagi mereka yang berlatar belakang militer.

Namun, angin perubahan kembali berhembus kencang di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pada 20 Maret lalu, DPR secara bulat menyetujui amendemen UU TNI. Revisi ini memperluas daftar ‘kantor' yang bisa diisi oleh tentara aktif, menambahkan lima lembaga lagi ke dalam daftar yang sudah ada sebelumnya. Kehadiran mereka diharapkan dapat memperkuat kinerja lembaga-lembaga strategis tersebut.

Lembaga mana saja yang kini pintunya terbuka lebih lebar untuk personel TNI aktif? Daftarnya meliputi Kejaksaan Agung, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Yang menarik, menurut laporan AFP, ada satu institusi krusial keenam yang juga masuk: Mahkamah Agung. Hmm, cukup mengejutkan, bukan?

Selain perluasan jabatan, ada juga penyesuaian terkait usia pensiun bagi anggota TNI. Batas usia pensiun dinaikkan beberapa tahun untuk sebagian besar pangkat. Contohnya, jenderal bintang empat kini bisa mengabdi hingga usia 63 tahun, naik dari sebelumnya 60 tahun. Kebijakan ini tentu memberi ruang pengabdian yang lebih panjang bagi para perwira tinggi.

Perlu dicatat, revisi ini merupakan salah satu langkah paling signifikan yang diambil pemerintahan Prabowo sejak dilantik Oktober tahun lalu. Meski begitu, versi yang disahkan ini kabarnya merupakan versi yang ‘lebih jinak' dari draf awal. Sempat beredar isu bahwa draf sebelumnya memberikan kewenangan lebih luas kepada Presiden untuk menempatkan perwira aktif di mana saja di lingkup pemerintahan.

Proses Legislasi Kilat dan Bisik-Bisik di Balik Layar

Yang juga menarik perhatian adalah kecepatan proses legislasi revisi UU TNI ini. Sejak diminta oleh Presiden Prabowo, RUU ini melaju kencang dan disahkan DPR dalam waktu kurang dari dua bulan. Proses penyusunannya pun terkesan agak low profile, melibatkan serangkaian pertemuan tertutup antara pihak Presiden, Kemhan, dan Komisi I DPR di sebuah hotel mewah dekat kompleks parlemen. Well, efisien atau terburu-buru, ya?

Setelah digodok di Komisi I, RUU ini mulus melenggang ke sidang paripurna khusus dan disetujui secara aklamasi. Kecepatan dan minimnya diskursus publik yang mendalam inilah yang kemudian memicu berbagai reaksi. Keputusan penting yang menyangkut struktur kekuasaan negara idealnya memang melibatkan partisipasi publik yang lebih luas agar legitimasinya semakin kokoh dan aspirasi masyarakat terwakili.

Kembalinya Dwifungsi Atau Kebutuhan Zaman?

Revisi ini sontak memantik perdebatan sengit, terutama kekhawatiran akan kembalinya konsep Dwifungsi TNI ala Orde Baru. Di masa itu, militer tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga merambah jauh ke ranah politik, sosial, ekonomi, hingga budaya. Perwira militer menduduki posisi kunci di BUMN, bank, media, dan berbagai institusi lainnya, menciptakan kontrol yang sangat kuat.

Pemerintahan Prabowo, yang notabene dipimpin oleh seorang mantan jenderal era Soeharto, dituding tengah mengambil langkah menuju penguatan kembali peran militer. Sejak awal masa jabatannya, Prabowo memang menyatakan akan memberikan "sentralitas politik dan pengaruh kebijakan yang lebih besar bagi aparatur militer-keamanan". Pengangkatan ajudan pribadinya, Teddy Indra Wijaya, seorang perwira aktif, sebagai Sekretaris Kabinet di hari pertama menjabat, seolah menjadi penegas komitmen tersebut. (Baca juga: Memahami Konsep Dwifungsi TNI)

Pihak pemerintah dan pendukung revisi UU ini punya argumentasi tersendiri. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan bahwa perubahan geopolitik global dan teknologi militer menuntut transformasi TNI untuk menghadapi konflik konvensional maupun non-konvensional. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I Budi Djiwandono, yang juga keponakan Prabowo, menepis kekhawatiran bahwa UU ini adalah jalan kembali ke Dwifungsi. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menambahkan bahwa UU lama sudah tidak relevan dan perlu penyesuaian untuk menghadapi isu-isu aktual.

Reaksi Publik dan Konteks yang Lebih Luas

Tak butuh waktu lama, revisi UU ini langsung disambut gelombang protes. Ratusan aktivis mahasiswa bahkan berkemah di depan gedung parlemen sehari sebelum pengesahan. Esoknya, massa bertambah hingga ribuan, membawa spanduk bernada keras seperti "Lawan militerisme dan oligarki!" dan "Orde Baru bangkit kembali!". Kritik pedas menyebut UU ini sebagai "pembunuh demokrasi".

Langkah ini terjadi di tengah berbagai tantangan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat, seperti kenaikan biaya hidup, isu lapangan kerja, dan kemiskinan. Beberapa pengamat juga mengaitkannya dengan strategi pemerintah menghadapi dinamika geopolitik yang kian memanas, terutama terkait persaingan kekuatan besar di kawasan. Penempatan personel militer di lembaga sipil strategis bisa jadi dilihat sebagai upaya memperkuat resiliensi nasional.

Jejak Sejarah dan Preseden Sebelumnya

Upaya memperluas peran militer dalam ranah sipil sebenarnya bukanlah hal baru, bahkan di era pasca-Reformasi sekalipun. Meskipun UU TNI 2004 bertujuan membatasi peran militer, implementasinya seringkali tidak seketat yang diharapkan. Program reformasi dianggap sebagian kalangan belum tuntas membongkar struktur lama, dengan banyak tokoh militer masih mempertahankan pengaruh kuat di balik layar demokrasi elektoral.

Presiden sebelumnya, Joko Widodo, yang kerap dicitrakan sebagai tokoh reformis, nyatanya juga beberapa kali ‘melanggar' batasan UU TNI. Misalnya, pengangkatan jenderal aktif sebagai Kepala BNPB pada 2019. Menurut data Imparsial (Indonesian Human Rights Monitor), pada 2023, hampir 2.600 perwira aktif bertugas di pos-pos sipil. Dukungan Jokowi kepada Prabowo dalam Pilpres 2024, dengan putranya sebagai cawapres, juga dilihat sebagai sinyal kontinuitas tertentu.

Pada akhirnya, revisi UU TNI ini menjadi babak baru dalam diskursus panjang tentang hubungan sipil-militer di Indonesia. Apakah ini sekadar penyesuaian pragmatis menghadapi tantangan zaman, atau langkah awal menuju pergeseran keseimbangan kekuasaan yang lebih fundamental? Hanya waktu dan implementasi di lapangan yang akan menjawabnya. Yang jelas, publik perlu terus mengawal agar semangat reformasi dan supremasi sipil tetap terjaga, memastikan bahwa militer fokus pada tugas utamanya menjaga kedaulatan negara, sementara urusan pemerintahan tetap berada di tangan sipil yang akuntabel.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Arah Metallica Pasca Black Album, Load, Reload

Next Post

Lonjakan 45 Persen Penumpang Buktikan LRT Jabodebek Jadi Andalan Mobilitas Lebaran