Dark Mode Light Mode

Ancaman Banjir dan Kebakaran: 25% Lahan Gambut Indonesia Terancam, Temuan Studi

Siapa yang sangka, ternyata masalah gambut nggak cuma bikin kebakaran hutan yang bikin mata pedih dan bikin khawatir. Lebih dari itu, kerusakan lahan gambut ternyata juga punya andil besar dalam bencana banjir yang sering terjadi di negeri kita.

Lembaga non-pemerintah, Pantau Gambut, sebuah organisasi yang fokus pada penelitian, advokasi, dan kampanye perlindungan serta keberlanjutan lahan gambut di Indonesia, baru-baru ini merilis data yang cukup mengkhawatirkan. Mereka menemukan bahwa kerusakan ekosistem gambut nggak cuma memicu kebakaran, tapi juga menjadi penyebab utama banjir di berbagai wilayah. Waduh, makin runyam nih.

Sebagai bagian dari ekosistem lahan basah, lahan gambut pada dasarnya memang butuh genangan air untuk tetap berfungsi dengan baik. Degradasi lahan gambut, atau kerusakan yang terjadi, justru mengurangi kemampuan lahan untuk menyerap air. Mirip sponge rusak, deh, nggak bisa nyerap lagi. Ini yang kemudian menyebabkan air meluap tak terkendali, alias banjir, yang merusak lingkungan sekitar.

Data dari penelitian ‘The Submergence of Wetlands' yang dilakukan Pantau Gambut, memberikan gambaran visual tentang ancaman banjir di Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) di Indonesia. Risiko banjir ini ternyata menyebar luas di tiga wilayah utama: Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Artinya, bukan cuma daerah tertentu yang kena getahnya.

Analisis dari Geographic Information Systems (GIS) menunjukkan bahwa provinsi-provinsi yang rentan terhadap kebakaran hutan, ternyata juga berada di daftar wilayah rawan banjir. Duh, double trouble nih. Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan, menjadi tiga wilayah yang paling rentan terhadap banjir, dengan potensi kerusakan yang paling luas.

Secara keseluruhan, setidaknya 25% dari KHG di Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap banjir. Ada sekitar 18% KHG dengan kerentanan sedang, dan sisanya, 57%, memiliki kerentanan rendah. Jadi, masih ada harapan, tapi tetap harus waspada, ya.

Bayangin aja, dari total 25 juta hektar lahan gambut di Indonesia, ada sekitar 6 juta hektar lahan yang rentan terhadap banjir. Angka yang cukup fantastis dan bikin kita mikir, "Wah, ini serius nih.".

Kalimantan menduduki posisi teratas dalam hal kerentanan banjir, diikuti oleh Sumatera dan Papua. Degradasi gambut nggak hanya berdampak pada wilayah daratan, tapi juga mengakibatkan penurunan signifikan pada wilayah pesisir. Efek domino yang nggak enak banget.

Lahan gambut, yang dulu berfungsi sebagai pelindung alami dari intrusi air laut, sekarang malah memperparah masalah banjir rob. Cadangan air tawar juga semakin berkurang karena infiltrasi air laut ke dalam air tanah. Jadi, bukan cuma banjir biasa, tapi juga masalah air asin yang merusak.

Kerusakan Lahan Gambut: Lebih dari Sekadar Kebakaran Hutan

Kerusakan lahan gambut, yang sering diidentikkan dengan kebakaran hutan, ternyata punya dampak yang jauh lebih kompleks dan merugikan. Degradasi lahan gambut menghancurkan ekosistem yang seharusnya berfungsi sebagai buffer alami terhadap banjir. Istilah kerennya buffering capacity.

Lahan gambut yang sehat mampu menyerap air hujan dalam jumlah besar, lalu melepaskannya secara perlahan. Namun, ketika lahan gambut rusak, fungsi ini hilang. Air hujan tidak lagi terserap, dan langsung mengalir ke sungai dan permukaan tanah, menyebabkan banjir. Sederhananya, gambut rusak = banjir.

Selain itu, kerusakan lahan gambut juga menyebabkan penurunan muka tanah. Penurunan ini membuat wilayah pesisir semakin rentan terhadap banjir rob karena air laut lebih mudah masuk ke daratan. Problem compounding, makin lama makin parah.

Tiga Poin Penting dari Pantau Gambut: Tata Kelola dan Mitigasi

Pantau Gambut mengadvokasi tiga poin penting untuk mengatasi masalah ini. Pertama, mereka ingin memasukkan variabel teknis terkait indikator banjir dalam degradasi ekosistem gambut sebagai perbaikan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 57 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Kedua, mereka juga mengusulkan agar memasukkan indikator tata kelola hidrologi gambut dalam regulasi terkait sektor jasa keuangan. Tujuannya? Agar investasi dan kebijakan finansial yang terkait dengan pengelolaan lahan gambut lebih berkelanjutan dan mempertimbangkan risiko banjir. Keren, nih, nyentuh soal keuangan.

Ketiga, Pantau Gambut menargetkan penguatan institusi spesifik dan otoritas lintas sektor dalam perlindungan ekosistem gambut. Seringkali, kerusakan ekosistem gambut hanya diukur berdasarkan insiden kebakaran hutan saja. Padahal, dampaknya lebih luas dari itu.

Dampak Nyata dan Solusi: Lebih dari Sekadar Retorika

Dampak nyata dari kerusakan lahan gambut sudah terasa di berbagai daerah. Banjir yang semakin sering dan lebih parah, hilangnya mata pencaharian masyarakat, hingga kerusakan infrastruktur adalah contoh nyata dari konsekuensi yang harus kita hadapi.

Lantas, apa solusinya? Tentu saja, bukan hanya sekadar retorika. Perlindungan dan restorasi lahan gambut harus menjadi prioritas utama. Restorasi lahan gambut itu penting banget. Hal ini melibatkan berbagai upaya, mulai dari pencegahan kebakaran hutan, pengelolaan tata air yang baik, hingga pemberdayaan masyarakat sekitar.

Penting juga untuk melakukan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perusakan lahan gambut. Jangan sampai ada lagi pihak yang meraup keuntungan dari kerusakan lingkungan. Adili semua yang merusak.

Kesimpulan: Saatnya Bergerak, Bukan Cuma Mengeluh

Kerusakan lahan gambut bukan lagi isu yang bisa kita abaikan. Banjir yang disebabkan oleh kerusakan ekosistem ini adalah ancaman nyata bagi kehidupan kita. Data dan fakta yang ada sudah cukup jelas, sekarang saatnya untuk bergerak. Mari kita dukung upaya perlindungan dan restorasi lahan gambut agar bencana banjir bisa kita minimalisir. Jangan cuma stalking berita, yuk, mulai ambil bagian.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Ice Spice Goda Penggemar dengan 'Thick Again' Sambil Bergoyang di Depan Menara Eiffel

Next Post

Orangutan Kutai Timur Berjuang Hidup di Tengah Hilangnya Habitat Massif: Dampak Nyata bagi Kepulauan Indonesia