Dark Mode Light Mode

Ambisi Tenaga Surya Indonesia: Peluang Besar di Tengah Konflik AS-China

Indonesia bertaruh besar pada tenaga surya dengan menarik investasi dari China. Tapi, tanpa pasar lokal yang kuat, apakah strategi ini akan bertahan dari tekanan AS?

Ketika mendengar kata “solar,” kebanyakan orang Indonesia mungkin langsung terpikir tentang minyak solar, bahan bakar kendaraan diesel. Tapi kali ini, kita bicara soal tenaga surya—energi yang dihasilkan dari sinar matahari menggunakan panel surya.

Indonesia sedang bertaruh besar pada sektor tenaga surya, terutama dengan membuka pintu lebar-lebar untuk investasi dari perusahaan China. Di tengah konflik dagang antara Amerika Serikat dan China, Indonesia melihat peluang besar untuk menjadi pusat energi terbarukan berbasis surya di Asia Tenggara. Tapi, apakah langkah ini akan membawa Indonesia menuju masa depan yang cerah, atau justru terjebak dalam pusaran konflik dagang global?

Peluang di Tengah Perang Dagang AS-China

Sejak 2012, Amerika Serikat telah memberlakukan tarif pada produk tenaga surya asal China. Tujuannya adalah untuk melindungi produsen lokal di AS, tapi kebijakan ini memaksa banyak perusahaan China untuk memindahkan produksi mereka ke Asia Tenggara.

Namun, Desember 2023 menjadi momen sulit bagi kawasan ini. Departemen Perdagangan AS menetapkan tarif anti-dumping hingga 271% untuk produk tenaga surya dari Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Kamboja. Tarif ini menghantam keras sektor surya di negara-negara tersebut, menyebabkan penutupan pabrik dan PHK massal.

Indonesia, yang belum tersentuh tarif ini, justru menjadi pilihan baru bagi perusahaan China yang ingin menghindari tekanan AS. Bahkan, impor produk tenaga surya dari Indonesia ke AS melonjak hingga USD 246 juta pada Agustus 2023, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya.

Indonesia Melonggarkan Regulasi untuk Menarik Investor

Untuk menarik minat investor, pemerintah Indonesia melakukan reformasi besar. Salah satunya adalah menurunkan persyaratan komponen lokal dalam proyek tenaga surya dari 40% menjadi 20%. Kebijakan ini sebelumnya dianggap menghambat perkembangan sektor energi terbarukan.

Langkah ini membuahkan hasil. Pada akhir 2023, Menteri Investasi Indonesia, Rosan Roeslani, kembali dari Beijing dengan janji investasi sebesar USD 7,5 miliar dari perusahaan-perusahaan China. Sebagian besar dana itu—sekitar USD 5 miliar—akan digunakan untuk membangun kawasan industri di Kalimantan Timur, yang akan fokus pada produksi panel surya dan komponennya.

Risiko Mengintai di Tengah Peluang

Meski terlihat menjanjikan, langkah ini juga berisiko. Analis memperingatkan bahwa Indonesia bisa menjadi target berikutnya dalam perang dagang AS-China. Dengan AS yang semakin agresif terhadap produk surya dari Asia Tenggara, banyak pihak khawatir Indonesia hanya menunggu giliran terkena tarif tinggi.

“Cepat atau lambat, kucing akan mengejar tikus,” ujar Putra Adhiguna, Managing Director di Energy Shift Institute Indonesia, menggambarkan kemungkinan AS memperluas tarifnya ke Indonesia.

Permintaan Domestik yang Masih Lemah

Namun, ada masalah lain yang tak kalah penting: lemahnya permintaan tenaga surya di dalam negeri. Meski Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang besar, tenaga surya dan panas bumi hanya menyumbang 13,1% dari bauran energi nasional pada 2023—jauh dari target pemerintah sebesar 17,87%.

“Permintaan domestik panel surya di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan negara lain,” kata Siwage Dharma Negara dari ISEAS-Yusof Ishak Institute. Ini menunjukkan bahwa meskipun produksi meningkat, tanpa pasar lokal yang kuat, ketergantungan pada ekspor menjadi risiko besar.

Dorong Adopsi Energi Terbarukan Lokal

Para ahli menekankan pentingnya memperkuat pasar domestik. Dengan mendorong adopsi energi terbarukan di dalam negeri, Indonesia bisa melindungi sektor surya dari dampak buruk tarif AS. Langkah ini juga akan membantu negara mengurangi ketergantungan pada batu bara dan minyak.

“Jika pasar lokal kuat, produsen tetap bisa memasok kebutuhan domestik meski ekspor terganggu,” kata Yana Hryshko dari WoodMackenzie.

Keputusan Indonesia untuk menarik investasi dari raksasa surya China adalah langkah berani. Dengan reformasi kebijakan dan janji investasi miliaran dolar, Indonesia mencoba memposisikan diri sebagai pemain utama dalam industri tenaga surya di Asia Tenggara.

Namun, keberhasilan strategi ini bergantung pada kemampuan Indonesia untuk meningkatkan adopsi energi terbarukan di dalam negeri. Jika gagal, sektor ini bisa terpuruk begitu AS memperluas tarifnya ke Indonesia.

Untuk saat ini, Indonesia tampak siap memainkan permainan panjang, bertaruh pada potensi besar energi terbarukan dan reformasi kebijakan. Apakah langkah ini akan membawa keuntungan besar, atau justru menjadi bumerang di tengah ketegangan geopolitik? Waktu yang akan menjawab.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Julie Madison: Cinta Lama Batman yang Terlupakan, Tapi Siap Bangkit di Film Baru

Next Post

Hans Zimmer dan Arab Saudi: Kolaborasi yang Menggemparkan Dunia Musik