Bayangkan berdiri di panggung megah Royal Albert Hall, London, di hadapan ribuan penggemar yang memuja. Alih-alih sekadar menyanyikan hits, Anda justru mengumumkan kabar yang cukup mengejutkan tentang kondisi kesehatan Anda. Itulah yang dilakukan Roger Daltrey, vokalis ikonik band rock legendaris The Who, saat tampil dalam konser amal untuk Teenage Cancer Trust baru-baru ini, sebuah momen yang sontak menyita perhatian dunia musik.
Bagi yang mungkin ngekos di gua selama beberapa dekade terakhir, The Who adalah salah satu raksasa rock Inggris yang definisinya enggak kaleng-kaleng. Band ini, bersama Daltrey dan gitaris Pete Townshend sebagai motor utamanya, telah mengukir sejarah dengan album-album monumental dan penampilan panggung yang eksplosif. Dari era Mod di tahun 60-an hingga status legenda hidup saat ini, musik mereka terus bergema melintasi generasi, menjadi soundtrack pemberontakan sekaligus refleksi kehidupan.
Konser di Royal Albert Hall tersebut bukanlah sembarang gig. Acara ini merupakan bagian dari rangkaian konser amal tahunan Teenage Cancer Trust (TCT), sebuah inisiatif yang justru didirikan oleh Daltrey sendiri pada tahun 2000. Selama lebih dari dua dekade, konser ini telah berhasil menggalang dana jutaan poundsterling untuk membantu remaja dan dewasa muda yang berjuang melawan kanker, menarik nama-nama besar di industri musik untuk tampil demi tujuan mulia.
Malam itu, di tengah gemuruh tepuk tangan dan sorotan lampu, Daltrey berbagi kabar personalnya. "Masalah dengan pekerjaan ini adalah, kau jadi tuli," ujarnya dari atas panggung, merujuk pada risiko occupational hazard seorang rocker. Kemudian, ia menambahkan dengan nada getir namun tetap tegar, "Dan sekarang aku diberitahu bahwa aku akan menjadi buta." Sebuah pengakuan yang jujur dan menyentuh dari seorang ikon.
Uniknya, Daltrey tidak lantas terpuruk dalam pengumumannya. Dengan sedikit dark humor khasnya, ia merujuk pada karakter fiksi ciptaan bandnya sendiri dari rock opera Tommy (1969), seorang anak yang tuli, bisu, dan buta. "Syukurlah aku masih punya suaraku. Jika aku kehilangan itu, aku akan jadi full Tommy," kelakarnya, menunjukkan semangat juang yang tak lekang oleh waktu, bahkan di tengah tantangan fisik yang berat.
Keputusan Daltrey untuk mengumumkan kondisi kesehatannya di acara TCT terasa sangat pas. Ini adalah panggung yang ia bangun dari nol, didedikasikan untuk perjuangan melawan penyakit. Tahun lalu, ia bahkan mengumumkan akan mundur sebagai kurator utama konser TCT, menyerahkan tongkat estafet kepada Robert Smith dari The Cure, sebuah langkah regenerasi yang ia anggap perlu seiring bertambahnya usia.
Menginjak usia 81 tahun pada awal Maret lalu, Daltrey memang semakin realistis memandang waktu. Ia pernah berkata kepada The Times bahwa ia "harus realistis" tentang usianya, mengakui bahwa ia sedang "dalam perjalanan keluar". Sebuah pernyataan yang mungkin terdengar pesimis, namun sebenarnya menunjukkan kedewasaan dalam menerima keniscayaan alamiah kehidupan, tanpa kehilangan semangat untuk terus berkontribusi.
Roger Daltrey dan Tantangan Kesehatan di Usia Senja
Pengakuan Daltrey mengenai potensi kebutaan menambah daftar tantangan kesehatan yang dihadapi para musisi rock veteran. Setelah bertahun-tahun terpapar suara bising di atas panggung, masalah pendengaran memang menjadi keluhan umum. Kini, ditambah dengan ancaman kehilangan penglihatan, sang frontman dihadapkan pada kenyataan pahit tentang dampak jangka panjang gaya hidup rock ‘n' roll, meskipun semangatnya tetap membara.
Namun, fokus Daltrey pada suaranya yang masih prima menjadi jangkar optimismenya. Vokal Daltrey, yang dikenal kuat, melengking, dan penuh emosi, adalah salah satu ciri khas The Who yang paling dikenal. Kemampuannya menjaga kualitas suara di usia senja merupakan bukti dedikasi dan, mungkin, sedikit keajaiban rock ‘n' roll. Kehilangan indera lain mungkin menyulitkan, tetapi kehilangan suara baginya adalah akhir dari segalanya.
Sikap realistis Daltrey mengenai usianya juga tercermin dalam keputusannya mundur dari peran kurator TCT. "Harapan hidup rata-rata adalah 83 dan dengan sedikit keberuntungan aku akan mencapainya, tapi kami butuh orang lain untuk menggerakkan [konser TCT]," ungkapnya. Ia menegaskan tidak akan meninggalkan TCT sepenuhnya, melainkan akan bekerja di belakang layar, "mengguncang kandang" pemerintah untuk mendukung para penderita kanker.
Langkah ini menunjukkan kebijaksanaan seorang legenda yang tahu kapan harus memberi jalan bagi generasi berikutnya, sambil tetap mengabdikan diri pada passion project-nya. Daltrey membuktikan bahwa usia senja bukanlah halangan untuk terus memberikan dampak positif, hanya saja caranya mungkin perlu disesuaikan. Semangat advokasinya tetap kuat, meski perannya kini lebih strategis di balik panggung gemerlap.
Masa Depan The Who: Antara Realita dan Optimisme
Pembicaraan mengenai kesehatan dan usia Daltrey tak pelak memicu kembali pertanyaan tentang masa depan The Who. Tahun lalu, Daltrey sempat melontarkan pernyataan yang mengindikasikan akhir era band, mengatakan bahwa ia "bahagia bahwa bagian hidupnya itu sudah berakhir". Namun, ia segera mengklarifikasi bahwa keputusan final mengenai nasib The Who harus dibuat bersama sang partner-in-crime, Pete Townshend.
Pete Townshend, sang gitaris sekaligus penulis lagu utama The Who, justru memiliki pandangan yang lebih optimis. Kepada NME, Townshend menyatakan bahwa ia "cukup yakin" akan ada lebih banyak pertunjukan The Who di masa depan. Ia melihat wacana "konser terakhir" lebih sebagai strategi pemasaran untuk menjual tiket daripada sebuah kepastian absolut yang tak terhindarkan dalam waktu dekat. Sebuah trik lama yang masih ampuh, tampaknya.
Townshend lebih memilih agar band menyesuaikan diri dengan audiens yang masih ingin melihat mereka, daripada memaksakan diri mengisi arena hanya demi keuntungan finansial semata. Baginya, akhir cerita The Who baru akan benar-benar terjadi "ketika salah satu dari kami [Daltrey atau Townshend] meninggal dunia atau tidak bisa lagi berfungsi di atas panggung." Sebuah pandangan pragmatis yang memberi harapan bagi para penggemar setia.
Warisan The Who dan Konser Amal Legendaris
Terlepas dari apa pun yang terjadi di masa depan, warisan The Who sudah terpatri kuat dalam sejarah musik. Mereka bukan hanya sekumpulan musisi, tetapi juga arsitek sound, gaya, dan sikap satu generasi. Dari lagu kebangsaan anak muda seperti My Generation hingga opera rock kompleks seperti Tommy dan Quadrophenia, kontribusi mereka terhadap lanskap musik rock modern tidak terbantahkan dan terus relevan hingga kini.
Konser Teenage Cancer Trust yang dirintis Daltrey juga menjadi bagian tak terpisahkan dari legasi sang vokalis. Dedikasinya selama lebih dari dua dekade untuk TCT menunjukkan sisi filantropisnya yang kuat. Pengumuman kondisi kesehatannya di panggung TCT seolah menjadi lingkaran penuh, mengingatkan kita bahwa di balik persona rockstar yang garang, ada seorang manusia dengan kepedulian mendalam yang berani tampil rapuh demi tujuan yang lebih besar.
Suara Emas Sang Vokalis Tetap Bertahan
Fokus Daltrey pada kekuatannya yang tersisa, yaitu suaranya, adalah inti dari semangatnya. Dalam dunia yang seringkali menuntut kesempurnaan fisik, keberaniannya untuk terus maju meskipun menghadapi keterbatasan adalah inspirasi. Suara itu bukan hanya alat musik, tetapi juga simbol ketahanan dan identitas yang menolak untuk dibungkam oleh usia atau penyakit. Selama mikrofon masih di tangannya dan pita suaranya masih bergetar, sang legenda masih punya cerita untuk dinyanyikan.
Pada akhirnya, kisah Roger Daltrey saat ini adalah tentang menghadapi senja karier dan kehidupan dengan kepala tegak, sedikit humor gelap, dan banyak keberanian. Tantangan kesehatan, refleksi usia, dan ketidakpastian masa depan The Who dihadapi dengan sikap realistis namun tidak menyerah. Yang pasti, baik di atas panggung bersama The Who maupun di belakang layar untuk TCT, semangat rock ‘n' roll dan kepedulian Daltrey belum padam, membuktikan bahwa api legenda sejati tak mudah dipadamkan oleh waktu.