Krisis Kesehatan Global: Antara Bantuan Asing dan Kemandirian Bangsa
Pernahkah kamu berpikir, kenapa urusan kesehatan dunia ini terasa seperti drama politik tanpa akhir? Awal tahun ini, sektor kesehatan Indonesia harus berhemat karena instruksi presiden untuk mendukung program prioritas. Sekarang, malah muncul berita dari Amerika Serikat, bahwa negara Paman Sam itu mau mengurangi bantuan kesehatan global. Apakah ini pertanda bahwa kita harus mulai memikirkan ulang cara kita mengelola kesehatan?
Kita semua tahu, dunia ini punya banyak masalah, mulai dari urusan pribadi sampai urusan negara. Tapi, kalau sudah bicara soal kesehatan, kadang kita merasa seperti sedang menonton acara sinetron yang konfliknya enggak kelar-kelar. Kejadian seperti ini bukanlah hal baru. Kebijakan donor asing yang berubah-ubah seolah menjadi rutinitas yang membosankan. Padahal, yang kita butuhkan kan stabilitas, bukan roller coaster emosi.
Kalau dipikir-pikir, kok bisa ya kepentingan politik negara lain jadi penentu arah kebijakan kesehatan kita? Seolah-olah kesehatan rakyat Indonesia hanya jadi pion dalam permainan catur global. Para donor asing, dengan dalih kemanusiaan, ternyata lebih fokus pada kepentingan nasional mereka daripada solusi yang berkelanjutan dan menguntungkan semua pihak.
Ketergantungan Bantuan: Mengapa Kita Tak Bisa Mandiri?
Selama ini, kita seperti anak kecil yang selalu menunggu uluran tangan dari orang lain. Dana bantuan memang datang, tapi apakah itu benar-benar solusi jangka panjang? Uang memang bisa membeli obat, alat kesehatan, bahkan tenaga medis, tapi apakah bisa membeli kemandirian? Jangan-jangan, kita malah jadi kecanduan bantuan, lupa caranya berdiri di atas kaki sendiri.
Akibatnya, intervensi kesehatan jadi terpecah-pecah. Kita sibuk mengatasi penyakitnya, tapi lupa bahwa ada masalah yang lebih besar: tenaga kesehatan yang kurang, serta sumber daya yang tidak terkelola dengan baik. Negara berkembang seperti kita, ujung-ujungnya jadi lebih rentan ketika bantuan dipangkas atau terjadi krisis.
Dana Bantuan: Berapa Banyak yang Kita Terima Sebenarnya?
Tahun 2023, Amerika Serikat melalui badan pembangunan internasionalnya (USAID) menggelontorkan sekitar US$67 juta untuk sektor kesehatan Indonesia. Jumlah ini meningkat menjadi US$73 juta pada tahun 2024. Lumayan kan? Tapi, coba kita bandingkan dengan kebutuhan riil di lapangan. Apakah dana sebesar itu sudah cukup untuk mengatasi semua masalah kesehatan yang ada? Ataukah hanya sekadar pemadam kebakaran yang tidak menyelesaikan akar masalah?
Selain itu, Indonesia juga mendapatkan hibah sebesar US$309 juta untuk periode 2024-2026 dari Global Fund. Dana ini dialokasikan untuk berbagai program, seperti penanggulangan TBC, AIDS, malaria, dan program penguatan sistem kesehatan. Memang, jumlahnya besar. Tapi coba tengok lebih dalam: apakah dana tersebut benar-benar efektif? Apakah sudah tepat sasaran? Atau malah sebagian hilang karena ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab?
Saatnya Berpikir Kritis: Apakah Kita Hanya Objek?
Kita harus mulai berpikir kritis. Kita harus berhenti menjadi objek dalam permainan geopolitik. Kita harus berani mengambil alih kendali atas kesehatan bangsa. Jangan biarkan kepentingan asing mengendalikan masa depan kita.
Saatnya kita mulai membangun sistem kesehatan yang mandiri, efisien, dan berkelanjutan. Kita harus mengoptimalkan sumber daya yang ada, meningkatkan kualitas tenaga kesehatan, dan fokus pada pencegahan penyakit. Kita harus berpikir out of the box. Kita harus berani berinovasi.
Kita perlu membangun sistem kesehatan yang kuat, dari hulu ke hilir. Kita butuh investasi jangka panjang, bukan sekadar bantuan sesaat. Kita butuh pemimpin yang visioner, yang peduli pada kesehatan rakyatnya. Kita butuh masyarakat yang sadar akan pentingnya kesehatan. Kita butuh perubahan.
Masa depan kesehatan Indonesia ada di tangan kita sendiri. Kita tidak bisa terus bergantung pada bantuan asing. Kita harus berani mengambil langkah nyata untuk mewujudkan sistem kesehatan yang sehat, kuat, dan mandiri. Mari mulai hari ini, dengan aksi nyata, bukan hanya wacana belaka.