Dark Mode Light Mode

AI dalam Pengembangan Perangkat Lunak: Janji Tak Seindah Realita

AI dalam coding sering kali menjanjikan revolusi, tapi kenyataannya penuh jebakan.

AI dalam dunia pengembangan perangkat lunak digambarkan seperti penyelamat di tengah deadline yang kejam. Demo canggih, fitur instan, dan narasi besar membuatnya terlihat sebagai solusi dari segala masalah coding. Tapi seperti beli barang diskonan online, apa yang kamu dapat seringkali jauh dari yang dijanjikan. Saya sendiri mengakui, sisi gelap dari bantuan AI adalah bug yang beranak pinak hingga proyek-proyek yang mandek karena ternyata teknologi yang belum matang.

“Agentic Coding”: Menjual Mimpi, Membawa Pusing

Siapa sih yang nggak tergoda dengan janji AI yang bisa menulis kode, memperbaiki bug, dan menghemat waktu kerja? Tapi realitanya, 50% kode yang dihasilkan AI sering kali nggak berguna sama sekali. Alat populer seperti Bolt dan Replit bukannya mempercepat pekerjaan, malah bikin pengembang kehabisan kopi sambil memutar otak mencari tahu kenapa kodenya nggak jalan.

Masalah utama terletak pada kecenderungan AI untuk membuat perubahan besar sekaligus. Satu bug kecil bisa berkembang biak jadi sekumpulan masalah, membuat pengembang menghabiskan lebih banyak waktu memperbaiki daripada membangun sesuatu yang baru. Namun ada AI platform bernama Lazy AI, dimana mereka mengambil pendekatan yang lebih konservatif: menguji setiap perubahan satu per satu. Kedengarannya lambat? Mungkin. Tapi setidaknya kode yang dihasilkan nggak bikin emosi.

Kenyataan ini mengajarkan bahwa janji efisiensi dari AI sering kali hanya berlaku di brosur pemasaran. Di dunia nyata, efisiensi tanpa kualitas cuma menambah pekerjaan, atau dalam bahasa jawanya: minhon gaweni.

Mitos Coder Universal: Pintar di Semua Bahasa, Tapi Salah Paham

Alat AI sering memproklamirkan dirinya sebagai coder universal, mampu bekerja di berbagai bahasa pemrograman. Tapi coba minta AI menulis kode Python, ada kemungkinan hasilnya malah tersimpan di file JavaScript. Saya sendiri sering dipusingkan dengan masalah AI yang mencampuradukkan sintaks, dependensi, bahkan komentar kode, seolah-olah semua bahasa pemrograman itu sama.

Saya justru lebih mengapresiasi Lazy AI yang membangun fixer spesifik bahasa. Karena hal itu yang memastikan AI memahami konteks sebelum menulis kode. Pendekatan ini jauh lebih realistis dibandingkan membiarkan AI mencoba jadi jenius serba bisa yang sebenarnya cuma bikin kode jadi “indomie goyeng.”

Bagi pengembang, pesan ini jelas: AI bukan pengganti pemahaman mendalam soal bahasa pemrograman. Sehebat-hebatnya alat, kalau dasarnya salah, ya hasilnya berantakan.

Autentikasi: Tantangan yang Terlihat Sepele, Tapi Melelahkan

Coba minta AI membuat halaman login Google dengan redirect ke profil pengguna. Hasilnya? Kebingungan besar. Banyak rekan developer membagikan pengalaman di mana AI sering gagal memahami proses OAuth, menyebabkan URI redirect yang salah hingga error di konsol Google Cloud.

Nggak usah gitu, kadang AI juga masih belum bisa membedakan TypeScript dengan JavaScript. Kita akan menunggu dan berputar-putar dalam masalah Lint. Token menipis, masalah malah bertambah.

Tapi ya sekali lagi, AI pintar, tapi nggak bisa membaca pikiran. Masih perlu sentuhan manusia untuk memastikan proses berjalan mulus tanpa insiden fatal.

AI Membuat Semuanya Jadi Berantakan

Interaksi dengan database adalah salah satu aspek paling vital dalam pengembangan perangkat lunak. Sayangnya, AI sering jadi biang kerok masalah ini. Hal ini seperti siklus neraka di mana perubahan pada database membingungkan AI, lalu AI membuat migrasi yang salah, dan akhirnya pengembang harus memperbaiki semuanya dari awal.

Seharusnya, platform AI bisa menyelesaikan masalah ini dengan mengintegrasikan database built-in yang mendukung migrasi mulus. Artinya, pengembang nggak perlu lagi buang waktu berjam-jam memperbaiki kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari.

Dari sini, satu hal jadi jelas: AI butuh panduan, bukan kebebasan penuh. Tanpa kontrol, hasilnya malah jadi kontraproduktif.

Biaya dan Efektivitas: “Murah di Awal, Mahal di Belakang”

Banyak platform AI menawarkan kecepatan tinggi dan biaya rendah, tapi jarang membicarakan risiko yang datang bersamanya. Model bisnis “Pay Now, Succeed Never” sering kali membuat pengembang merasa rugi besar. Mulai dari kode yang diduplikasi hingga tanda kurung yang salah tempat, kesalahan kecil ini bisa merusak seluruh halaman aplikasi.

Seharusnya, sebelum platform AI dirilis ke publik, mereka wajib menguji setiap model AI selama berminggu-minggu di aplikasi dunia nyata. Ini memastikan pengembang mendapatkan hasil yang lebih stabil dan tidak perlu membuang waktu memperbaiki kesalahan fatal. Karena pada akhirnya kecepatan tanpa keandalan itu ilusi. Pengembang butuh alat yang bisa diandalkan, bukan sekadar cepat dan murah di awal.

Fokus Pada Realitas, Bukan Janji Muluk

Ngoding bersama AI memang bukan solusi sempurna. Namun, platform AI seperti ini seharusnya menawarkan sesuatu yang berbeda: fokus pada hal-hal kecil dengan hasil luar biasa. Mereka tidak mencoba jadi alat serba bisa, melainkan alat yang benar-benar membantu pengembang mencapai hasil nyata.

Yang perlu kita tekankan terhadap gemparan teknologi AI adalah teknologi hanyalah alat bantu, bukan penyelamat. Tanpa pemahaman mendalam dan strategi yang tepat, alat terbaik pun hanya akan jadi sia-sia.

AI dalam pengembangan perangkat lunak menawarkan banyak potensi, tetapi juga banyak jebakan. Dari bug yang menumpuk hingga database yang kacau, pengembang harus memahami batasan teknologi ini untuk menghindari frustrasi. Keberhasilan dalam coding tidak hanya tentang alat, tetapi juga tentang pendekatan yang realistis dan berbasis pengetahuan.

Jadi, lain kali ada yang bilang AI bisa menyelesaikan semua masalah coding-mu, ingatlah: “AI bisa membantu, tapi manusia tetap harus jadi bosnya.”

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Diskon Tarif Listrik 50% dari PLN: Stimulus Ekonomi yang Ramah di Kantong

Next Post

Wingko Babat: Asli Babat atau Semarang?