Orang kaya akan lebih bangga kalau anaknya sopan, santun, dan beradab. Orang miskin? Yang penting kaya dulu, soal sopan santun belakangan. Kenapa beda banget?
Fenomena ini memang sering bikin kita berpikir. Di keluarga mapan, adab adalah kebanggaan. Mereka bisa dengan bangga berkata, “Nggak apa-apa anakku nggak cum laude, asal dia tahu cara menghormati orang.” Sebaliknya, di keluarga yang ekonominya pas-pasan, sering kali kalimat yang muncul adalah, “Nggak apa-apa anakku nggak sopan, yang penting nanti bisa kaya.”
Orang Kaya dan Kebanggaan pada Adab
“Adab dulu, prestasi belakangan.”
Kalimat ini mungkin terdengar klise, tapi bagi keluarga kaya, ini adalah filosofi hidup yang nyata. Mereka sadar bahwa save net mereka sudah tebal, entah dari harta, koneksi, atau nama baik keluarga. Mau anaknya lulus dari universitas ternama atau sekolah seni di pelosok, hidupnya nggak akan tiba-tiba chaos. Kalaupun gagal, minimal masih ada aset properti atau saham yang bisa diwariskan.
Makanya, bagi keluarga kaya, adab dan sopan santun itu jauh lebih penting. Anak yang tahu diri, bisa bersikap baik, dan nggak mempermalukan keluarga adalah bentuk investasi yang lebih berharga daripada sekadar gelar S2 S3. Karena pada dasarnya, mereka nggak butuh anak yang pintar banget kalau ujung-ujungnya bikin masalah. Mereka butuh anak yang bikin semua orang bilang: “Keluarga ini memang kelas, ya.”
Tapi, bukan berarti orang kaya nggak peduli prestasi. Kalau prestasi itu mendukung citra atau bisnis keluarga, mereka pasti all out. Cuma, kalau harus memilih antara anak jadi CEO sombong atau guru seni yang rendah hati, mereka cenderung pilih opsi kedua.
Orang Miskin dan Obsesi pada Kesuksesan
Di sisi lain, orang tua dari keluarga miskin melihat kesuksesan sebagai jalan keluar. Dalam dunia mereka, punya anak yang kaya, berprestasi, atau terkenal adalah semacam golden ticket untuk keluar dari jurang kemiskinan. Mereka nggak punya save net, jadi satu-satunya cara adalah menciptakan anak yang bisa menyelamatkan status ekonomi keluarga.
Bahkan, obsesi ini kadang datang dari tekanan sosial. Dalam keluarga besar, status sering dihitung dari siapa yang paling sukses atau kaya. Kalau ada anak yang berhasil masuk perguruan tinggi ternama, otomatis orang tuanya jadi pusat perhatian di acara keluarga. Mereka dianggap berhasil sebagai orang tua. Sebaliknya, kalau anaknya cuma jadi pekerja biasa, meskipun sopan dan beradab, mereka akan dianggap gagal.
Ini semua soal kebutuhan dasar manusia: penghargaan diri dan pengakuan sosial. Orang tua dari keluarga miskin ingin diakui, baik oleh lingkungan mereka maupun keluarga besar. Dan sayangnya, adab jarang jadi metrik utama pengakuan itu.
Kenapa Perbedaan Ini Penting untuk Dipahami?
Kadang, kita suka lupa bahwa prioritas setiap orang itu beda-beda, tergantung latar belakangnya. Orang kaya punya privilege untuk fokus pada soft skills seperti adab, etika, atau kepribadian. Mereka sudah melewati fase bertahan hidup. Sementara itu, keluarga miskin nggak bisa membayangkan berinvestasi pada hal-hal yang sifatnya abstrak. Hidup pas-pasan saja sudah sulit, bagaimana mau memikirkan soal etika?
Bahkan, ini bisa menjelaskan kenapa banyak anak dari keluarga miskin yang berusaha keras menonjolkan prestasi tapi kemudian malah jadi sombong. Itu bukan karena mereka nggak tahu pentingnya adab, tapi karena mereka merasa harus menunjukkan pencapaian untuk membuktikan diri. You can’t eat politeness, mungkin begitu logikanya.
Lalu, Apa Solusi Idealnya?
Jawabannya, tentu saja keseimbangan. Orang kaya harus tetap menghargai pentingnya prestasi, sementara keluarga miskin juga perlu memahami bahwa adab adalah bentuk wealth yang nggak kalah penting. Jangan sampai anak sukses secara materi, tapi bikin malu keluarga karena kelakuannya jauh dari sopan.
Seperti kata orang bijak, “Kaya itu penting, tapi kaya hati lebih penting.” Kalau bisa dapet dua-duanya? Nah, itu baru namanya hidup yang ideal.