Dark Mode Light Mode

10 Album Rock yang Puncaknya di Lagu Terakhir (Implikasi: Perpisahan/Penutup)

Album Rock Terbaik Sepanjang Masa: Ketika Lagu Terakhir Menghipnotis

Musik itu kayak cinta pertama: berkesan, bikin nagih, dan kadang bikin penasaran mau dengerin lagi. Tapi, ada satu hal yang bikin cinta itu abadi, yaitu ending yang pas. Begitu juga dengan album musik. Lagu pembuka memang penting buat narik perhatian, rangkaian lagu yang bagus bikin kita betah, tapi lagu terakhir… nah, lagu terakhir ini yang bikin album jadi legenda.

Kadang, lagu pembuka yang keren bisa langsung bikin kita jatuh cinta, tapi kesan yang membekas itu lebih jitu. Lagu terakhir yang kamu denger di album bakal terus kebayang-bayang, bahkan setelah kamu matiin playlist-nya. Ini berlaku buat semua genre, apalagi rock. Ada alasan kenapa rock pernah jadi raja dunia musik, karena album rock terbaik selalu punya ending yang bikin merinding. Bahkan, beberapa band rock jago nyimpen yang terbaik buat akhir.

"Africa": Bukan Cuma Lagu, Tapi Fenomena!

Gak seru kalau ngomongin ending album terbaik tanpa bahas "Africa". Lagu mega-hit era '80-an ini jadi highlight dari album keempat TOTO. Lucunya, "Africa" itu bukan single pertama dari album ini, lho. Gelar itu buat "Rosanna" – yang ironisnya jadi lagu pertama di album. "Africa" baru dirilis sebagai single kedua, dua bulan setelah albumnya keluar. Kayaknya pendengar udah keburu nge-fans sama "Africa" sampai TOTO merasa perlu merilisnya sebagai single.

"Africa" berhasil curi perhatian di album Toto IV. Bukan berarti "Rosanna" gak sukses, ya, karena lagu itu juga hits. Tapi, "Africa" itu super hits. "Africa" bahkan jadi satu-satunya lagu TOTO yang berhasil jadi nomor satu.

Tame Impala: Evolusi yang Bikin Kaget

Evolusi Tame Impala itu ibarat makeover yang bikin pangling. Album-album sebelumnya, kayak Innervisions dan Lonerism, masih kental nuansa The Beatles. Tapi, di album Currents, band asal Australia ini mulai eksperimen, nge-rock ala psikedelik. Hasilnya? Lahirlah "New Person, Same Mistakes".

Memang bukan cuma lagu itu yang nempel di hati pendengar. "The Less I Know the Better" sama "Let It Happen" juga banyak disukai. Tapi "New Person, Same Mistakes" punya dampak budaya yang lebih besar. Bahkan, penyanyi "Umbrella", Rihanna pernah nge-cover lagu ini. Cover Rihanna sukses banget, dan bikin lagu Tame Impala ini makin dikenal.

Led Zeppelin: Lebih dari Sekadar Lagu Penutup

Kalau lagu terakhir di album itu udah yang terbaik, itu udah keren banget. Kalau lagu terakhir itu ternyata juga jadi lagu terbaik dalam diskografi si musisi, itu beda cerita. Apalagi kalau lagu terakhir itu dianggap sebagai salah satu lagu terbaik sepanjang sejarah musik. "When the Levee Breaks" adalah salah satu lagu yang masuk kategori itu.

Led Zeppelin IV itu album rock yang wajib banget didengerin, terutama karena "When the Levee Breaks". Bukan berarti lagu lain gak bagus, ya. "Stairway to Heaven" sama "Black Dog" juga populer banget. Kerennya "When the Levee Breaks", lagu itu tetep bisa bersinar meskipun ada lagu-lagu keren lain di album itu.

Jimi Hendrix: Perpisahan yang Tak Terlupakan

Jimi Hendrix punya diskografi yang bikin musisi lain iri. Setiap albumnya selalu lebih bagus dari yang sebelumnya. Album studio ketiganya juga bisa dibilang yang paling bagus, baik sebagai penyanyi maupun pemain instrumen. Hal yang sama juga berlaku buat lagu terakhir di album terakhir Hendrix. Lagunya udah jadi legenda, bahkan sering dipake di film-film Hollywood.

"Voodoo Child (Slight Return)" bukan cuma kesan terakhir di album, tapi juga kesan terakhir Jimi Hendrix sebagai musisi sebelum meninggal. Kita jadi penasaran, gimana jadinya kalau dia terus berkarya.

Skunk Anansie: Epilog yang Bikin Adem

Album ketiga band rock asal Inggris ini lebih punk. Sepanjang album, Skunk Anansie nunjukkin kekuatan metal dan ajakan bertindak lewat lirik-lirik yang kuat. "On My Hotel TV" itu jebolan dari genre punk. Tapi, "I'm Not Afraid" jauh lebih kalem dibanding lagu-lagu sebelumnya.

Hasilnya? Lagu ini bener-bener kayak epilog yang cinematic. Intensitas album jadi melambat, kayak ending credits. Meskipun begitu, lagu ini tetep nyambung sama tema-tema di album, tapi lebih halus.

The Doors: Bikin Industri Musik Geger!

Band '60-an ini emang bikin gebrakan di dunia musik. The Doors menandai debut mereka di tahun 1967. "Light My Fire" langsung melejit, dan single pertama mereka, "Break On Through (to the Other Side)" juga gak kalah terkenal.

Tapi, lagu "The End" yang bikin The Doors beda dari band-band seangkatan. Lagu ini epik banget, durasinya 15 menit. Padahal genre lagu sekarang aja banyak yang gak berani bikin lagu sepanjang itu. Tapi, durasi yang panjang itu bikin pendengar punya banyak waktu buat menghayati lagunya. Bahkan, "The End" bisa banget dipakai di film.

Evanescence: Rock Modern yang Bikin Baper

Ada dua versi "My Immortal" di album Fallen. Versi pertama lebih orkestra, bernuansa emo. Versi "Band Version" lebih nge-rock dengan instrumen band (gitar, drum, dll), dan ending-nya lebih upbeat. Kontras banget sama versi pertama, tapi itulah yang bikin lagu ini makin bagus.

"My Immortal" udah bikin suasana baper, terus lagu ini ngasih sesuatu yang baru. Evanescence ngasih yang terbaik dari dua dunia: Suara rock modern yang energik, dipadu sama suasana gotik yang bikin sedih. Di album yang juga punya lagu-lagu klasik kayak "Bring Me to Life," "Going Under," dan "Haunted," "The Immortal – Band Version" lebih pas daripada lagu-lagu yang lain.

Linkin Park : Naik ke Puncak dengan "Numb"

Lagu penutup kadang bukan cuma buat ninggalin kesan atau bikin album dapet pujian. Kadang, lagu terakhir di album itu yang bikin band atau musisi jadi legenda. Ini kayaknya yang terjadi sama Linkin Park. Debut mereka bikin "In the End" dan "Crawling" populer, tapi album kedua mereka, Meteora, yang bikin mereka jadi superstar. Lagu-lagu kayak "Faint," "Somewhere I Belong," dan "Breaking the Habit" bikin album ini jadi booming.

Tapi, "Numb" yang bikin mereka makin bersinar. Semua lagu di album ini bagus, tapi "Numb" adalah lagu yang ngasih energi baru buat band. Sampai sekarang, lagu ini masih jadi salah satu lagu terbaik Linkin Park.

Sleater-Kinney: Rage Perempuan yang Menggelegar

Mengambil inspirasi dari "The End"-nya The Doors, "The Last Song" di album debut Sleater-Kinney ini terasa sangat literal. Sama kayak "The End" yang jadi penutup album The Doors, "The Last Song" juga jadi penutup album Sleater-Kinney. Tapi, liriknya gak se-metaforis itu. Lagu ini dari sudut pandang orang yang udah capek nulis lagu tentang orang yang sama yang nyakitinnya berulang-ulang, dan bilang ini terakhir kalinya dia nyanyiin tentang orang itu.

Sleater-Kinney selalu nunjukkin kemarahan perempuan yang kuat lewat energi dan lirik mereka. Di album debut mereka, "The Last Song" udah nunjukkin apa aja yang bisa mereka lakukan. Teriakan, petikan gitar yang cepat, musik drum yang emosional — semua ada di lagu ini, dan hanya akan jadi lebih baik.

Prince: "Purple Rain" yang Bikin Album Jadi Karya Abadi

Di album studio keenam Prince, Purple Rain bukan cuma album terbaiknya, tapi juga salah satu album terbaik sepanjang sejarah musik. Gagalnya album ini meraih penghargaan Grammy untuk Album of the Year masih dianggap sebagai kekalahan paling mengejutkan dalam sejarah Grammy. Film dengan judul yang sama juga membantu melestarikan legacy Purple Rain, tapi lagu-lagu kayak "When Doves Cry," "Let's Go Crazy," dan "Darling Nikki" juga berkontribusi besar.

Buat lagu "Purple Rain" sendiri, lagu ini adalah karya terbaik Prince. Lagu ini balada yang durasinya hampir sembilan menit, dengan petikan gitar dan permainan piano yang pelan-pelan membangun dari melodi yang sendu sampai klimaks yang epik. "Purple Rain" bukan cuma lagu terbaik di album ini, tapi juga yang terbaik dalam katalog musik Prince.

Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Panduan Dress to Impress: Cara Menyelesaikan Quest Valentine Chapter 2 (Update Valentine)

Next Post

Game Baru Back to the Future Sedang Dikerjakan: Apakah Nostalgia Akan Terbayar?